AJARAN POKOK MU'TAZILAH (4): AL-AMRU BIL MA’RUF WAN NAHYU ‘ANIL MUNKAR

18 Februari 2016

AJARAN POKOK MU'TAZILAH (4): AL-AMRU BIL MA’RUF WAN NAHYU ‘ANIL MUNKAR

Prinsip ini erat hubungannya dengan masalah amaliyah, sebagai manifestasi daripada iman yang ada di dalam hati. Di dalam Al-Qur’an banyak disebutkan tentang perintah ini, antara lain: Surat ali Imran ayat 104, surat Lukman ayat 17 dan sebagainya.
“Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran: 104).
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan” (Luqman: 17)
Dari prinsip ini menunjukkan bahwa Mu'tazilah memandang sama pentingnya antara aqidah dan amaliyah, antara iman dan amal. Oleh sebab itu perlu orang diseru untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhkan perbuatan jahat. Pelaksanaan prinsip ini bila perlu dengan kekerasan, sebab Mu'tazilah berkeyakinan bahwa orang-orang yang tidak sepaham dipandang sesat dan perlu diluruskan.
Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya mengenai status Al-Qur’an, dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas bagi pejabat-pejabat negara.
Pendirian Mu'tazilah yang membawa konsekuensi buruk adalah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Hal ini karena faham mereka yang menafikan sifat bagi Tuhan, sedang Al-Qur’an disebut sebagai Kalamullah. Apakah Tuhan berkata sebagai halnya manusia? Mu'tazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdiri dari susunan huruf dan bunyi, dengan demikian adalah baharu bukan qodim. Kalam adalah bukan sifat zat, tetapi sifat perbuatan (sifat aktiva), oleh karena itu Al-Qur’an adalah makhluk, dengan makhluk ini Tuhan menerangkan kehendak-Nya, sebagaimana juga makhluk yang lain adalah tidak abadi, yang abadi adalah Tuhan semata. Mereka berdasarkan alasan:
  • Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri yang menunjukkan ketidak-qodimnya, seperti antara lain :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya”. (Az-Zuhruf:3).
      Selanjutnya dalam ayat lain Tuhan berfirman:
   "Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al-Qur’an dengan bahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf: 2)
  • Akal pikiran tidak bisa menerima apabila perintah-perintah dalam Al-Qur’an itu qodim. Apalah artinya karena manusia yang diperintah lahirnya kemudian. Maka perintah itu akan sia-sia, Maha suci Tuhan daripada hal yang semacam itu.[1]
Mu'tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada isinya, bukan dalam bahasanya. Sebab mungkin sekali seseorang bisa menyusun bahasa yang lebih baik dari Al-Qur’an, tetapi mengenai kandungan isinya tak mungkin seseorang dapat mencapainya. Dengan isinya, Al-Qur’an membuktikan kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Pendirian Mu'tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sebagai analogi logis bahwa zat dan sifat Tuhan yang tidak dapat dibagi, tidak dapat berubah, yang ada hanya Keesaan mutlak sebagaimana dijelaskan di atas. Bagaimana memahami ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 136:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah dan Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa: 136)
“Dan jika di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (At-Taubah: 6)
Untuk memperkuat pendiriannya, bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana dapat dipahami dari kedua ayat tersebut di atas, maka dikemukakan argumentasi sebagai berikut:
  1. Bahwa Al-Qur’an di dalamnya terdapat perintah dan larangan, janji dan ancaman, berita dan lain sebagainya. Maka andaikata Al-Qur’an itu kalam yang azali, dipandang tiada guna perintah dan larangan itu, sebab pada saat itu belum ada yang diperintah dan firman itu ditujukan kepada siapa.
  2. Firman Tuhan kepada Nabi Musa adalah bukan yang kepada Muhammad, karena pada hakekatnya pembicaraan kepada rasul-rasul itu berbeda, seperti kisah mengenal dua umat adalah berbeda karena perbedaan umat itu sendiri. Maka apabila berbeda, sudah barang tentu adalah mustahil kalam itu sebagai sifat-Nya yang Esa dalam sifat dan zat-nya yang tidak terjadi perbedaan di dalamnya.
  3. Umat Islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang terdiri dari surat, ayat dan huruf yang dapat diindera, adalah mustahil kalam itu sebagai sifat-Nya adalah terlepas dari semua itu.
Sebagai dasar naqli dari pendapatnya, dikemukakan pula dalil antara lain:
  1. Ayat 30 surat Al-Baqarah adalah mengandung pengertian masa, sedang yang di dalam masa adalah baru.
  2. Surat Hud ayat 1 menunjukkan adanya susunan, sedangkan yang tersusun adalah baru.
  3. Surat At-Taubah ayat 6 menunjukkan bahwa firman itu dapat didengar, sedang yang didengar harus terdiri dari huruf dan suara.
  4. Surat Ad-Dukhan ayat 3, menunjukkan Al-Qur’an diturunkan berarti baru.
  5. Al-Baqarah ayat 156 tentang nasih dan mansuh, menunjukkan adanya penghapusan.
Dengan demikian maka Al-Qur’an adalah makhluk yang terdiri dari huruf dan suara sebagaimana firman-Nya yang lain yang disampaikan kepada para nabi. Pengertian daripada Allah yang bersifat kalam (Mutakallimun) adalah Dia menciptakan dan melakukan pembicaraan yang dapat menunjukkan terhadap obyek, terhadap apa yang dikehendakinya, sedang yang diciptakan adalah makhluk.
Secara panjang lebar, Ahmad Amin mengurai tentang Mihnah, sebagai berikut: pendapat tentang kemakhlukan Al-Qur’an nampak pada akhir pemerintahan Umayyah dari Al-Ja’du bin Dirham, guru Marwan bin Muhammad di akhir khalifah Bani Umayyah, yang berkata bahwa orang yang pertama mengatakan tentang kemakhlukan Al-Qur’an dari Damsyik, kemudian melarikan diri yang akhirnya berdiam di Kufah. Disana Jaham bin Sofwan belajar kepadanya. Al-Ja’du telah dibunuh oleh Kholid bin Abdullah pada hari qurban di Kufah, hal ini karena Al-Ja’du mengatakan bahwa Allah telah berbicara dengan Musa dan tidaklah Allah mengambil pada Ibrahim sebagai khalifah.
Demikian pula Jaham bin Sofwan dibunuh oleh Salim bin Ahwaz tahun 128 H, karena Jaham meniadakan sifat. Dan karenanya meniadakan kalam serta pendapat kemakhlukan Al-Qur’an. Kemudian Bisry Al-Maryisi yang asalnya seorang Yahudi juga berpendapat tentang kemakhlukan Al-Qur’an pada masa Ar-Rasyid yang mendakwahkan pendapatnya sekitar 40 tahun serta disusun dalam sebuah kitab.
Mu'tazilah telah mewarisi pendapat tersebut dari Al-Ja’du dan Jaham, sehingga mereka (kaum Mu'tazilah) berpendapat seperti itu, menambah pembahasan masalah itu dengan mendetail dan meluaskan argumen.  Dapat kita saksikan seperti Al-Murdar seorang tokoh Mu'tazilah yang meluaskan pendapat tersebut dan mengkafirkan orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah qodim.

[1] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih Bahasa Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Karib, Logos Publissing House Jakarta 1996, 185.
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.